KARAKTER DIGITAL NATIVE Vs DIGITAL IMMIGRANT

Adi Syahputra, S.Pd.I., M.Pd | 05 Agustus 2024

Detail Literasi:

Emangnya ada karakter digital itu? So, pasti ada! Berangkat dari judul tulisan ini, digital native vs digital immigrant. Mungkin belum buming untuk sebutan ini, bisa jadi saya, kamu atau kita termasuk dalam generasi digital native. Menurut Marc Prenskydigital native adalah sebutan untuk orang yang lahir di era digital (15-24 tahun), alias ketika berkembangnya teknologi seperti komputer dan internet. Demikian juga generasi millenial dan generasi Z termasuk ke dalam kelompok digital native. Umumnya generasi digital native sudah terbiasa dengan perkembangan teknologi, sehingga cepat beradaptasi dan merasa nyaman menggunakan alat digital. Bahkan hal ini terjadi sejak anak-anak di usia dini yang tanpa diajarkan mereka mampu mengoperasikannya. Bahkan  digital native juga tidak enggan dan canggung ketika harus berkomunikasi dengan alat digital atau virtual, seperti menggunakan text, chatting, video call hingga AI (Artificial intelligence) yang baru-baru ini berkembang pesat. Mereka menelan gadget tanpa harus disuguhkan oleh ahlinya sehingga balita pun mampu beradaptasi dengannya.

Demikian pula makna dari digital immigrant, orang yang lahirnya jauh sebelum adanya digitalisasi mereka yang lahir di tahun 1980-an, atau generasi X dan baby boomers.  Para digital immigrant harus beradaptasi dengan banyaknya perubahan di zaman digital, dari segi teknologi hingga perkembangan internet. Tak ketinggalan dalam dunia pendidikan. Para digital immigrant ini banyak terasingkan oleh waktu. Guru misalnya, mereka seperti istilah “guru posting berdiri murid update berlari” artinya banyak siswa di sekolah yang sudah tak nyaman dengan gaya mengajar gurunya, dikarenakan ketertinggalan mereka atas informasi yang lebih dulu didapat oleh siswanya. Jadi, jika ada terobosan dari sebuah teknologi, generasi digital immigrant perlu waktu lebih lama untuk mengerti dan fasih dalam menggunakannya seperti private gadget, dan bimbel komputer.

Dari sinilah terbentuk karakter digital yang menggambarkan sikap sosial antara native dan imigrant itu. Karakter digital native sangat mampu berlari mengejar informasi lebih cepat, riil, dan akurat dibandingkan digital immigrant yang senantiasa masih jalan ditempat dan terkesan lamban dalam merespon sesuatu. Pada akhirnya, pola pikir anak-anak sekarang tidak senang dengan bertele-tele mereka suka hal yang serba instan dan praktis. Ini tentu menimbulkan dampak positif dan negatif. Tidak sedikit mereka terkena penyakit diusia yang sangat muda. Hal ini bermula dari karakter yang serba instan dari sisi makanan yang tidak dilihat kebermanfaatanya. Berbeda dengan karakter digital immigrant mereka masih banyak pertimbangan dalam berbagai hal, seperti menyelasikan masalah, memilah makanan dan membuat kebijakkan yang matang.

Generasi Z merupakan manusia yang sangat sulit dikelola. Merasa berhak atas segala hal. Mereka terkadang tumbuh salah kaprah atas segala parenting yang diberikan, selalu minta diperlakukan sebagai pribadi yang spesial. Sangat jago memperlihatkan sesuatu pada orang lain dengan menggunakan kata-kata mutiara bahwa hidup itu menakjubkan. Semua terlihat tangguh namun kenyataannya rapuh. Kecanduan dopamin (zat kimia di dalam otak yang berperan besar dalam memengaruhi emosi, sensasi kesenangan hingga rasa sakit yang bisa dirasakan seseorang) akibatnya terjadi tekanan hidup masa remaja. Harusnya mereka  bergantung pada orang tua bukan pada teman jagad virtual. Tekanan ekonomi, keluarga, sosial, beban studi, dan pekerjaan itulah alasan kecanduan gadget pada paradaban digital. Digital native ini terprogram kecanduan dopamin karena mendapat akses yang bebas pada sosmed termasuk game online. Dopamin merupakan bahan kimia organis yang dilepaskan otak guna membantu manusia mengatur respon aktivitas motorik dan emosional. Euforia akibat dopamin menciptakan kecanduan. Kecanduan inilah yang mengontrol prilaku manusia yang akhirnya menjadi karakter.

Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh digital immigrant. Kebanyakan dari mereka adalah orang tua dari digital native. Tentu para orang tua ini mempunya PR besar dalam parenting untuk anaknya yang mempunyai karakter seperti di atas. Mereka tidak akan bisa melepaskan semua kebiasaan, nilai, dan pola pikir yang terbentuk di dunia analog. Digital immigrant tak serta merta tidak nyaman jika dihadapkan dengan dunia digital. Ketika mereka memiliki kemampuan, kemauan, dan juga tersedianya teknologi, maka kenyamanan dan juga keahlian mereka akan berhasil dan dapat menyamai dengan kemampuan digital native. Akan tetapi, memang para digital immigrant ini tidak akan bisa membebaskan diri dari logat bahasa ibu mereka. Mereka hanya akan menjadi penutur bahasa pribumi digital yang berlogat analog. Analogi bahwa digital immigrant tidak fasih dalam menggunakan teknologi juga tak selamanya benar. Hal ini karena secara efektivitas, penuturan bahasa dalam komunikasi tidak bergantung pada logat. Lagipula, para digital immigrant yang berbahasa analog tidak harus memiliki logat yang sama dengan digital native.

Sudah selayaknya dua generasi ini menjadi generasi yang mutualisme dalam segala aspek kehidupan. Karakter yang berbeda tentu tidak bisa di satukan namun dari perbedaan itu dapat memberikan pelajaran besar dalam kehidupan. Transformasi karakter zaman kerumunan ke karakter zaman asing (siapa lo siapa gua)  adalah dua masa yang dapat memberikan makna besar untuk generasi alpha dan beta tergantung kita dalam menyikapinya.

Berita Lain Semua Berita

Literasi SMAMSA Semua

Copyright © 2025 SMA Muhammadiyah 1 Pekanbaru Supported by Smamda Sidoarjo